Antara Dendam dan Penyesalan by Jus Alpukat

Chapter 410



Bab 410
Selena yang belum masuk dan masih berdiri di depan pintu, melihat semua itu dengan ekspresi sinis di matanya. Keluarga
seperti apa yang dinikahi ibunya?
Tidak ada satu pun orang yang benar–benar peduli padanya selain Calvin.
Dulu, dia melayani kakeknya dengan sepenuh hati, tetapi kakeknya tidak pernah menganggapnya sebagai keluarga.
Sebenarnya yang paling menderita adalah Calvin. Kalaupun dia memilih untuk menyelamatkan Maisha dengan mengorbankan
Agatha, Maisha pasti tidak akan memaafkannya ketika dia sudah sadar.
Apalagi dia sudah membesarkan Agatha sejak kecil dan menganggapnya seperti anak perempuannya
sendiri.
Bagalamana bisa dia memilih di antara keduanya?
Pilihan apa pun yang dia ambil, pasti akan membuatnya hancur berkeping–keping.
Sampai akhirnya, seorang perawat bertubuh mungil berlari menghampiri. “Dengan keluarga pasien? Saat ini, pasien sudah
bangun dan dia ingin bertemu dengan kallan.”
Calvin tiba–tiba membalikkan badannya dan mengikuti perawat itu. Melihat hal itu, Selena pun langsung mengikutinya.
Dokter yang merawat Maisha berdiri di depan pintu, “Keluarga pasian, sesuai dengan keinginan pasien. dia ingin dipindahkan
dari ICU dan menghabiskan sisa waktunya bersama keluarga. Apakah akan memenuhi keinginannya atau nggak, semua

keputusan ada di tangan kalian.”
Ketika berada di ICU, tidak hanya sulit dikunjungi, tetapi juga setiap upaya penyelamatan yang dilakukan akan menyebabkan
lebih banyak luka di tubuhnya. Hal itu pasti membuatnya sangat menderita.
Orang yang diselamatkan dengan cara seperti ini, hidupnya juga tidak akan bertahan lama.
Calvin memandang Selena, yang sedang memberikan dukungan kepadanya, dengan wajah duka.
Melihat hal itu, Selena pun akhirnya berkata, “Turuti saja keinginan pasien.”
Dia tidak punya banyak waktu lagi. Jadi, setidaknya, biarkan dia merasa bebas dan damai di saat–saat
terakhirnya.
Ketika Maisha di dorong keluar dari ruangan, dia terlihat sangat kurus, bahkan wajahnya pun hanya sebesar telapak tangan.
Berat badannya menurun dengan drastis dalam waktu singkat.
Meskipun wajahnya terlihat sakit, dia masih bisa tersenyum ketika melihat mereka berdua.
“Maisha, kamu sudah menderita.”
“Ibu.”
Hati Selena terasa sedih saat melihat kondisi ibunya. Segala dendam dan perselisihan di masa lalu. seketika lenyap.
Kondisinya terlihat tidak baik, wajahnya terlihat sangat sakit. Saat ini, dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Agatha dan hanya
mencari–cari ke sekelilingnya secara naluriah, “Agatha ada di mana? Apakah dia masih marah padaku?”

Walaupun Maisha tidak tahu bahwa dia adalah ibu kandung Agatha, dia tetap merawatnya dengan penuh kasih sayang selama
ini.
Calvin yang tidak ingin membuatnya semakin sedih pun akhirnya berbohong.
“Dia akan datang sebentar lagi, jangan khawatir. Kamu mau makan apa? Aku akan menyuruh orang untuk membelikan.
Lihatlah, kamu sudah kurus seperti ini?”
Maisha tersenyum ringan, “Selama kamu yang membuatnya, aku bisa makan apa saja. Sayang, bawa aku pulang, ya? Aku
nggak ingin mati sendirian di rumah sakit.”
Suasana menjadi semakin sendu setiap kata ‘mati‘ diucapkan.
Saat menyadari bahwa perkataan Maisha adalah kenyataan, mata semua orang memerah. Namun, mereka tidak dapat
membantahnya, bahkan tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun yang menghibur meski terpaksa.
Sebaliknya, dia terlihat begitu santai. “Apakah kamu bisa mengurus prosedur keluar rumah sakit? Bagaimana kalau malam ini
kita semua makan malam di rumah?”
Waktu yang tersisa untuknya kurang dari dua hari.
Calvin langsung menganggukkan kepalanya dan berkata, “Baiklah, semua terserah kamu saja. Aku akan mengikut
keingananmu.”
Saat Calvin sedang mengurus administrasi dan prosedur keluar dari rumah sakit, Maisha terus menggenggam tangan Selena
dengan lembut sabil meminta maaf, “Selena, maafkan aku. Awalnya, aku ingin memperbaiki semuanya setelah tubuhku pulih,
tetapi sepertinya nggak ada kesempatan lagi untuk itu. Selama ini, aku nggak pernah merawatmu dengan baik, semuanya
salahku.”
“Ibu, aku nggak menyalahkanmu. Sungguh, aku benar–benar nggak menyalahkan ibu. Aku yakin ibu pasti akan sembuh.”
“Bodoh, aku tahu kondisi tubuhku sendiri. Aku... waktuku sudah nggak banyak lagi.”
Selena menggenggam tangan ibunya dengan erat dan menjawab, “Kami sudah menemukan pendonor sumsum tulang yang
cocok dengan ibu, tetapi saat ini dia sedang terluka parah. Kalau ibu nggak keberatan, kita bisa segera melakukan operasi
transplantasi sumsum tulang.”

“Kamu bilang dia terluka parah, memangnya harus ada korban jiwa? Selena, kalau begitu, aku lebih
memilih nggak ingin hidup.”
Selena menghela napasnya pelan. Tuhan benar–benar kejam, meskipun sudah ada obat penawarya di sini, tapi dia tidak bisa
menggunakannya.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.