Chapter Bad 41
Bab 41
Tasya baru saja tiba di kantor ketika dia melihat pemuda itu duduk di sofa dengan kaki disilangkan dan seikat mawar merah
yang menawan di atas mejanya. Melihatnya, dia tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis.
“Nando, kenapa kamu sudah ada di sini pagi-pagi sekali?” tanya Tasya bingung.
“Aku di sini untuk melihat lingkungan kerjamu, Ruangan ini terlalu kecil. Kamu mau jika aku minta sepupuku untuk memindahkan
kamu ke ruangan lain?” Nando bertanya dengan alis terangkat.
“Tidak perlu, aku suka sekali di sini,” jawab Tasya. Dia tidak mau diistimewakan.
“Aku akan menemanimu di kantor dan kita bisa makan siang bersama nanti pada jam istirahat.” Nando kelihatannya sedang
tidak bekerja sehingga dia bebas.
Tasya tersenyum. “Kamu tidak kerja?”
“Meskipun kali ini aku kembali untuk manangani bisnis keluarga, aku sudah ijin ayahku untuk ambil cuti selama dua minggu.”
Senyum tersungging di bibir Nando.
Selama cuti, dia tidak ingin pergi ke mana-mana, dia hanya ingin berada di sisi Tasya.
“Kenapa kamu tidak menungguku di kafe saja? Aku tidak bisa konsentrasi nanti kalau kamu di sini.”
“Apa? Apa aku terlalu ganteng sampai-samapi membuatmu tidak konsentrasi kerja?” Nando menyipitkan matanya yang indah.
Pria ini memang pantas untuk percaya diri.
Tasya merasa geli dan mendengus. “Ya, maka dari itu.”
“Baiklah, kalau begitu aku akan menunggumu di ruang sepupuku.” Setelah berbicara, dia mengambil seikat mawar dan
memberikannya kepada Tasya. “Ini untukmu. Kamu suka tidak?”
“Kenapa kamu kasih aku bunga?” kata Tasya sambil mengulurkan tangan dan menerima bunganya.
“Jika kamu suka, aku akan mengirimkan seikat bunga setiap hari.”
“Jangan, terima kasih.” Tasya dengan sopan menolaknya.
Mendengar jawaban Tasya, Nando hanya menatapnya dalam-dalam dengan penuh kasih sayang. “Sampai nanti siang ya.”
Setelah berkata, dia berlalu dengan enggan.
Begitu Nando pergi, Maya, dengan semangat mengetuk pintu dan masuk. “Wow! Tampan sekali dia! Apa dia pacarmu?”
Tanpa mengangkat kepalanya, Tasya merapikan ruangannya. “Hanya teman.”
“Aku tidak percaya. Dia jelas tertarik padamu. Lihat mawar ini!”
Tasya terlalu malas untuk menjelaskan, lalu dia berkata kepada Maya, “Ambilkan aku secangkir kopi!”
Di ruangan Presiden Direktur.
Elan datang terlambat hari ini, tetapi dia sudah memutuskan untuk bekerja tetap dari sini. Dibandingkan dengan kantor di Grup
Prapanca, kantor di sini tidak terlalu bagus.
Sebelum dia memasuki kantor, asisten wanitanya memberitahukan bahwa ada tamu di ruangannya. Dia melangkah ke ruangan
dan menatap sosok ramping dan tampan dengan biasa saja, tanpa merasa kaget.
“Kenapa kamu di sini?” dia bertanya dengan ringan.
“Elan, aku di sini hanya untuk mengisi waktu. Aku akan menunggu Tasya sampai pulang kerja dan mengajaknya makan siang
nanti,” kata Nando berterus terang, tanpa menutup-nutupi niatnya.
Elan duduk di tempatnya dan menyalakan komputer untuk memeriksa emailnya sementara Nando yang bosan menunggu,
bermain game di ponselnya. Kedua sepupu itu diam-diam sepakat untuk tidak mengganggu satu sama lain.
Telepon meja Elan berdering, lalu dia menjawab panggilan itu. “Halo!”
“Pak Elan, apakah Anda akan hadir di pertemuan rutin departemen hari ini?” Suara Felly terdengar di ujung telepon.
Elan sudah berpesan, setiap ada pertemuan rutin Departemen Desain, dia harus diberitahu, maka Felly selalu bertanya terlebih
dahulu setiap akan dilaksanakan pertemuan.
“Ya. Sebentar lagi saya selesai, “jawabnya.
Tasya juga diberitahu bahwa dia perlu menghadiri pertemuan tersebut. Setelah mengumpulkan materi untuk rapat, Tasya keluar.
Namun, dia baru saja berbelok diujung jalan, tiba-tiba dia menabrak seseorang di koridor. Untungnya, dia segera sadar dengan
apa yang terjadi, dan tiba-tiba dia terhenti di depan dada seorang pria yang hanya berjarak beberapa senti darinya.
Dia menengadah dan melihat kemeja pria itu bersih dan bebas debu, lalu melihat ke tulang selangka seksi pria itu, jakun, dan
garis rahang yang sempurna...
Sebelum dia bisa berhenti mengagumi sosoknya, pria itu telah berlalu dan berjalan dengan acuh tak acuh menuju ruang
pertemuan. Tasya hanya bisa mengikuti jejaknya dengan canggung dan berjalan menuju ruang pertemuan juga
Begitu pintu terbuka, pria itu duduk di kursinya sementara Tasya hari ini duduk di sebelahnya.
Melihat itu, Alisa menatap Tasya dengan cemburu. Dia merasa Tasya selalu beruntung. Meskipun Tasya telah mrmbuat
beberapa kesalahan, dia masih bisa terus bekerja di perusahaan itu bahkan tidak mendapatkan hukuman Karena itu, Alin curiga
bahwa Tasya