Chapter 3: 02. Setelah Insiden itu
Author's POV
Setelah insiden itu, Chloe banyak mendapat perhatian dari senior dan orang-orang seangkatannya. Banyak senior yang malah sinis kepadanya, tetapi di lain sisi, banyak juga senior yang memuji keberaniannya untuk berkata demikian kepada Wilson.
Salah satu orang yang kagum padanya adalah Jocelyn, gadis yang kemarin membantu merelai mereka berdua. Hari ini kakak gugus kelompok Chloe diubah menjadi perempuan karena sesudah insiden itu, panitia-panitia langsung membawa ini ke dalam rapat mereka. Demi menjaga Chloe, Wilson ditukar dengan orang lain. Chloe sangat menyayangkan hal ini, bukan karena pergantian kakak gugus, melainkan menyayangkan pertukaran ini terjadi sehari sebelum ospek selesai.
Chloe sedang berdiri dengan beberapa mahasiswa baru lainnya yang menunggu jemputan, karena salah satu peraturan dalam ospek, bahwa mahasiswa baru tidak boleh membawa kendaraan untuk alasan keselamatan. Sebenarnya Chloe tidak terlalu keberatan dengan peraturan tersebut, karena bisa saja ada mahasiswa yang mungkin terlalu lelah hingga tidak focus waktu menyetir, tapi ia tidak punya pilihan lain selain melawan peraturan tersebut, karena ibunya tidak bisa menyetir dan tentu saja ia tidak ada sesiapun yang bisa mengantar dan menjemputnya.
Caranya ialah, ia akan ikut naik angkot dan berhenti agak jauh di tempat mobilnya diparkir. Untuk menghindari aduan mahasiswa baru lainnya, ia masuk angkot setelah sepi. Sembari menunggu, Chloe menoleh ketika seseorang menepuk pundaknya, yang ternyata itu adalah Jocelyn,
"Hey," ujar gadis itu,
"Ya?" tanya Chloe tanpa banyak basa basi,
"Belum dijemput ya? Rumahmu dimana?"
"Nunggu angkot, di daerah sei panas,"
"Mau bareng? Rumahku daerah Nagoya, bisalah kalau mau lewat sei panas,"
"Tidak usah, terimakasih," ujar Chloe, mengangguk kecil. Ia kembali membalikkan pandangannya dari Jocelyn lalu melihat-lihat angkot yang di jalanan Batam yang riuh.
Jocelyn tidak menyerah, dia berjalan ke depan Chloe agar Chloe melihatnya. Jocelyn menggantungkan tangannya kepada Chloe,"Aku Jocelyn,"
Chloe melirik tangan gadis itu dan menyambutnya dengan singkat,"Chloe,"
Jocelyn terkekeh,"Seharusnya kita sudah saling tau nama ya! Kita kan se gugus,"
Chloe tersenyum kecil dan mengangguk, lalu kemudian mengalihkan pandangannya lagi untuk mencari angkot. Jocelyn menarik nafasnya untuk membuka percakapan dengan Jocelyn,
"Kemarin..."
Chloe langsung melirik gadis itu lagi,
"Kemarin kau sangat keren,"
"Benarkah?"
"Ya! Absolutely yes!"
"Why makes you think like that?"
"Woah, you have a good accent!"
"Not really. Moreover, it's not about the accent that makes you look great, it's about vocabulary and grammar,"
"I see..."
"So what is it?" tanya Chloe lagi kepada Jocelyn,
"Sorry?"
"Kenapa kau bisa berpikiran itu keren padahal itu menghina senior kita,"
"Bagiku kau tidak menghina kak Wilson, bagiku kau sangat keren bisa berani berkata begitu. Lagipula memang nafasnya aja yang bau, hahahaha," Keduanya tertawa lepas,
"Aku kira aku saja yang berpikiran begitu," ujar Jocelyn lagi,
"Aku hanya mengatakan fakta yang kualami selama dia menjadi kakak gugus kita,"
"Kau benar hahaha,"
"Eh, aku sudah dijemput. Kau tidak ingin bareng?"
Chloe menggeleng dan Jocelyn menghela nafas pasrah,"Oke deh. Sampai bertemu besok,"
Chloe hanya tersenyum kecil dan sedikit melambai ketika Jocelyn masuk ke dalam mobilnya.
"Iya kalau kita besok sekelas," ujar gadis itu, seolah melanjutkan perkataan Jocelyn. Walaupun prodi mereka sama, yakni multimedia, tapi itu tidak menjamin jika mereka akan sekelas.
****
"Gimana tadi ospeknya? Ini hari terakhir kan?" ujar Helena, ketika ia menyiapkan makanan untuk ia letak di meja makan. Chloe juga bergerak untuk membantu ibunya, namun Helena menolaknya dan menyuruhnya untuk duduk saja.
"Ya begitulah. Kakak gugusku diganti hari ini, sangat disayangkan banget,"
"Diganti? Kenapa?" tanya Helena sebelum dia duduk,
"Aku membuatnya marah," ujar gadis itu dengan sepele,
"Marah? Kamu apakan dia, Chloe?"
"Aku hanya bilang jangan dekat-dekat denganku karena nafas dia bau,"
"Oh ya, selamat makan!"
"Chloe..."
"Iya ma..."
"Jangan begitulah sama orang lain. Seharusnya kamu bilang baik-baik, kalau begini kan namanya kamu udah mempermalukan dia,"
"Tapi nafas nya benar-benar bau tau ma! Lagian dia pake rangkul-rangkul, sengaja dekat-dekat ke aku gitu, siapa juga yang gak risih. Hanya cewek gampangan yang senang diperlakukan begitu," "Chloe... kamu gak boleh gitu ngomongnya,"
"Tapi bukankah itu benar? Tubuh kita itu asset kita untuk pasangan sah kita nanti,"
"Iya itu benar, tapi nak... kamu berusaha dong untuk tidak terlalu ketus gitu, nanti gak ada laki-laki yang mau sama kamu gimana, hayo loh,"
"Aku ga butuh lelaki seperti itu, apalagi kalau seperti orang itu,"
"Orang itu? Maksudmu papa kamu?"
Chloe hanya diam, menyuapkan nasi ke dalam mulutnya, seakan tidak ingin menjawab pertanyaan ibunya,
"Chloe! Jawab mama!"
Chloe menatap ibunya dengan perasaan campur aduk,"Kenapa sih mama selalu belain lelaki itu? Apa bagusnya dia? Bahkan untuk dianggap sebagai seorang ayah pun tidak layak dia dapatkan,"
"CHLOE, CUKUP!"
Tangan gadis itu berhenti, matanya
menatap ibunya yang sudah berkaca-kaca. Melihat itu, Chloe menyudahì makanannya. Ia tidak
ingin bertengkar dengan ibundaket
karena pembahasan yang tidak menyenangkan ini. Ia membungkam mulutnya, lalu meletakkan piringnya dan mencucinya.
Sementara Helena, air matanya membasahi pipinya karena sudah membentak anaknya. Perasaannya campur aduk, ia tidak ingin anaknya terus menerus tenggelam dalam kebenciannya terhadap ayahnya sendiri.
"Chloe..." panggil Helena ketika Chloe hendak menaiki tangga untuk masuk kedalam kamar,
Gadis itu menghentikan langkahnya
ketika ibunya memanggilnya dengan nada lembutnya. Butuh waktu yang lama untuknya membalikkan tubuhnya untuk melihat ibunyaz Sesiapapun tidak tahu, jika gadis itu juga menahan emosinya yang juga ingin meledak,
"Ingatlah... dia juga ayahmu, Chloe. Mama hanya tidak ingin kamu terus menerus termakan kebencian terhadap siapapun, apalagi dia ini ayahmu, nak,"
"Ya ma..."
"Ingat juga, setidaknya dia juga membiayai kita hidup hingga sekarang,"
Chloe membelalakkan matanya, merasa tidak percaya dengan apa yang ia dengar,"Jadi apa yang kita miliki semuanya dari orang itu?"
"Berhentilah memanggilnya orang itu,"
Chloe mengepalkan tangannya, "Kenapa mama baru bilang sekarang kalau fasilitas yang kita punya ini, dia yang menanggungnya?"
"Karena mama tahu, kamu adalah
anak yang mandiri. Mama akui itu.
Tapi karena itulah mama takut, kalau kamu nekat kabur dari rumah, mencari danamu sendiri untuk hidup karena kamu pasti tidak akan menerima pemberian apapun dari ayah kamu. Dan karena kamu sekarang sudah dewasa, mama
rasa ini tidak perlu ditutupi lagi..."
"Dan apa itu menjamin kalau aku akan tetap tinggal dirumah ini setelah mama memberitahukan ini padaku?"
Helena bangkit dari kursinya, berjalan ke putri sematangwayangnya, memegang tangannya untuk memohon dengan sangat,
"Mama mohon, jangan lakukan itu, Chloe. Jangan tinggalkan mama... Cukup ayahmu saja yang pergi, jangan kamu juga nak," ujar Helena dengan air mata yang tidak bisa ia bendung. Chloe hanya diam, membiarkan air matanya turun,
"Baik ma..."‒‒‒‒‒‒‒‒‒‒‒