Chapter 58: Malam yang Panas untuk Pasangan Suami-Istri
Randika berdiri sendirian di tengah tumpukan mayat Bulan Kegelapan.
Memperhatikan sekelilingnya, Randika bisa menebak bahwa yang bertarung dengannya semua adalah kloning. Bulan Kegelapan yang asli tidak mungkin membahayakan nyawanya, lagipula Shadow juga tidak ada di sini.
Dirinya sudah lama mengira bahwa Shadow telah mengkhianatinya. Dia juga tahu bahwa pertemuan mereka hari ini adalah jebakan tetapi dia tetap datang. Dia merasa bahwa gabungan kekuatan mereka berdua tetap bukan sebuah masalah bagi dirinya. Tanpa diduganya, cloning merupakan senjata rahasia Bulan Kegelapan.
Randika mengerutkan dahinya. Shadow dan Bulan Kegelapan berhasil kabur, jadi ada kemungkinan mereka akan menyusun kembali rencana jahat lainnya.
Mereka berdua harus mati, pikir Randika.
Dengan tangan kosong, Randika segera meninggalkan tempat ini.
Pertarungan pertama mereka ini benar-benar berbahaya bagi Randika, dia benar-benar tidak menyangka akan ditawur seperti itu. Jika bukan karena obat yang diberikan kakeknya itu, mungkin sekarang dia sudah mati.
Saat di perjalanannya, dia memeriksa kondisi tubuhnya. Tidak ada keanehan di dalam maupun di luar tubuhnya, seluruh cederanya sembuh dengan sempurna. Obat kakeknya benar-benar luar biasa.
Pertanyaannya adalah berapa lama efek ini akan berlangsung? Dia berharap bahwa efeknya tahan beberapa hari.
Ketika sampai di rumah, suara langkah kaki Randika terdengar oleh Inggrid. Dia sudah menyiapkan diri secara mental menghadapi tingkah laku Randika yang akan datang. Anehnya, Randika hanya berjalan melewatinya.
Hmmmm?contemporary romance
Inggrid penasaran dan bertanya pada Randika, "Kau sakit?"
Randika, yang berniat langsung masuk kamarnya, merasa malu. Bisa-bisanya dia tidak menyadari bahwa Inggrid ada di bawah?
"Gak!" Randika langsung memasang topengnya. "Suamimu ini tahan banting tahu hahaha."
Namun, Inggrid tahu ada yang aneh dan menghampirinya. "Kau jelas-jelas lagi tidak sehat, sini kasih lihat mananya yang sakit."
Memang darah di baju dan wajahnya sudah dia bersihkan tadi, tapi raut wajah Randika benar-benar pucat dan celananya terlihat compang-camping. Bahkan bibir sampingnya tampak berdarah.
Randika lalu merenung. Keadaannya ini benar-benar memalukan bagi dirinya. Dia memikirkan bagaimana bisa cecunguk seperti Bulan Kegelapan dan Shadow bisa melukainya segini parah. Dia sekarang juga mengerti kenapa dirinya tidak ingin mati hari ini, salah satu alasannya adalah wanita di hadapannya ini.
Sayang sekali dia tidak bisa memeluk erat istrinya ini dengan leluasa.
"Ikut aku." Tiba-tiba, Inggrid menggandeng Randika dan membawanya ke kamarnya.
"Aduh pelan sedikit dong, suamimu ini sedang kesakitan. Aku tahu kau ingin cepat-cepat melihat apa yang di balik bajuku ini, aku cuma minta tolong yang lembut aja ya nanti."
Inggrid langsung cemberut. Mau sakit mau sehat, kenapa pria ini tidak bisa berhenti membuatnya jengkel?
Meskipun terlihat pucat, luka Randika hanyalah luka goresan. Cedera internalnya sama sekali tidak serius, berbeda dengan Elva sebelumnya.
Ketika sampai di kamar Inggrid, dia meminta Randika mengangkat bajunya sedikit dan mulai merawat luka-lukanya.
"Sakit kah?" Inggrid mengelus punggung Randika yang tersayat oleh pisau. Entah kenapa hatinya terasa sakit.
"Ah! Tolong pelan sedikit." Randika langsung merintih kesakitan.
"Maaf, aku baru pertama kali melakukannya." Inggrid langsung menarik tangannya.
Pertama kali melakukannya? Entah kenapa itu terdengar ambigu di telinga Randika.
Randika menatap Inggrid dalam-dalam. Inggrid yang masih sibuk itu akhirnya menyadari tatapan Randika, dia lalu bertanya. "Ada apa?"
"Oh tidak apa-apa, aku hanya merasa kau semakin cantik saja." Randika langsung memalingkan wajahnya yang memerah.
"Luka-lukamu cukup banyak dan cukup susah jika kau duduk, bisa kau lepaskan bajumu dan tiduran?" Kata Inggrid.
"Oh? Baiklah." Randika langsung melepas bajunya dan tubuh kekarnya langsung memenuhi mata Inggrid. Inggrid mengalami gejolak batin, di sisi lain dia malu dan terpukau melihat tubuh kekar itu dan di sisi lain hatinya merasa sakit ketika melihat tubuh Randika yang penuh luka itu. Luka-luka lama Randika terlihat mengerikan, ada bekas peluru dan sayatan panjang.
Inggrid akhirnya hanya terdiam dan berpikir dalam hatinya, bagaimana bisa Randika memiliki begitu banyak luka?
Tanpa sadar dia mengelus luka lama Randika. Inggrid berpikir bagaimana bisa suaminya ini menderita begitu hebatnya dan masih terlihat sehat-sehat saja.
"Hmmm? Kenapa kau bengong?" Kata Randika. Dia lalu menoleh dan melihat Inggrid yang meneteskan air mata. Seketika itu juga dia tahu apa yang dipikirkan istrinya itu dan memeluknya. "Hahaha tidak perlu khawatir, mau itu peluru atau pedang selama aku bisa melindungimu semuanya sepadan."
Inggrid langsung tersipu malu dan mendorong Randika. "Hah? Kenapa kau tiba-tiba melantur seperti itu? Sudah cepat tiduran dan biarkan aku membersihkan lukamu."
Setelah itu Inggrid membersihkan luka-luka Randika yang ada di punggung.
���Jika sakit kasih tahu." Kata Inggrid.
Meskipun sederhana, kebaikan Inggrid ini menghangatkan hati Randika yang terbiasa sendirian ini. Meskipun istrinya ini tidak mengatakannya, dia tahu bahwa Inggrid peduli dengannya dan begitu pula sebaliknya.
Mungkin penyangkalan itu adalah bentuk pertahanan Inggrid yang terakhir.
Randika tidak berbicara sama sekali dan menikmati kasih sayang Inggrid ini dengan mata tertutup.
Tidak lama kemudian, Inggrid telah selesai mengobati lukanya dan menutupi dengan perban.
Lalu Inggrid bertanya, "Masih sakitkah?"
"Sudah enggak." Randika berkata dengan nada santai, dirinya benar-benar telah pulih.
"Aku tidak tahu apa yang kau lakukan di luar sana, tapi coba sayangi tubuhmu sendiri." Ada sedikit kebingungan di nada Inggrid. Apa memangnya yang dilakukan Randika sampai-sampai terluka seperti ini?
Setelah itu, Inggrid mengambilkan minum dan baju baru buat Randika. "Lain kali hati-hati ya."
Saat dia menyerahkannya, dia menyadari bahwa Randika hanya terdiam dan menatap dirinya dalam-dalam.
"Hmmm? Kenapa kau melototiku seperti itu?" Inggrid benar-benar tidak paham dengan Randika hari ini. Kenapa dia begitu diam dan nurut? Biasanya dia sudah melontarkan lelucon mesum.
"Kau benar-benar menawan." Sebelum Randika mengatakan itu, dia sudah memeluk erat Inggrid dan membanting dirinya ke tempat tidur. Setelah itu dia menciumnya dan tangannya segera bermain-main dengan tubuh seksi istrinya itu.
Inggrid benar-benar lengah, karena Randika hari ini pendiam bukan berarti dia Randika yang berbeda!
Namun, otaknya berhenti bekerja setelah sensasi nikmat yang diberikan Randika mulai naik ke otaknya. Lidah mereka terus bersilat tanpa henti, putingnya tidak ada habisnya dimainkan.
Dengan napas yang terengah-engah, Inggrid berkata pada Randika. "Jangan lakukan ini…."
Namun, melihat istrinya itu setengah hati menolaknya membuat Randika makin sayang. Hari ini istrinya itu benar-benar menawan dan dia sudah kehilangan kendali diri untuk tidak menyentuh istrinya itu!
Tangan kanan Randika masih bermain-main di dada Inggrid sambil sesekali menyentil bahkan menjepit puting Inggrid yang mengeras. Ketika mereka berdua tidak berciuman, Randika bahkan menjilati leher putih istrinya itu ataupun menggigit telinganya.
"Ahhnn! Tidak! Tolong hentikan!"
Desahan Inggrid itu justru membuat birahi Randika menjadi-jadi. Saat ini, Randika sedang berusaha melepaskan baju istrinya itu. Namun, entah dari mana, Inggrid memiliki kekuatan kembali dan kedua tangannya berusaha mendorong Randika kuat-kuat.
Randika terkejut ketika Inggrid mendorong dirinya. Dia lalu memandangi wajah Inggrid yang masih merah tersebut. Jelas bahwa Randika masih dikuasai nafsu jadi napasnya masih menggebu-gebu.
"Stop Randika! Kita tidak bisa melakukannya." Butuh tenaga yang banyak untuk membuat Inggrid mengatakan sepatah kata tersebut.
Randika langsung kecewa dalam hati, dia lalu berkata sambil tersenyum. "Aku hanya bisa menyalahkan dirimu yang begitu menawan hari ini."
Walaupun muka marah Inggrid masih belum hilang, dia tersipu malu dan terdiam. Dia hanya berdiri dan keluar dari kamar.
Randika memasang wajah kecewa, kenapa kau masih menolakku?
Tetapi, tiba-tiba Inggrid kembali masuk.
Dia memandang Randika dengan wajah merah.
"Aku lupa kalau ini kamarku."
Randika langsung tertawa keras. "Baiklah, aku yang akan keluar."
Ketika Randika sudah keluar, Inggrid hanya berjongkok di depan pintu. "Kenapa aku membiarkan dirinya mempermainkan diriku terus-menerus?"
done.co