Chapter Bab 8
Setelah mematikan lampu hijau, Samara melepaskan masker medis dan kacamata pelindungnya lalu berjalan menuju area
kantor. Saat dia baru hendak duduk dan menandatangani laporan autopsi, dia melihat kotak-kotak makan malam yang dikemas
dengan rapi menumpuk di mejanya, dan sebuah tulisan tercetak diatas kantong makanan itu – Metroluxe. “Lucas, apa ini?
Samara mengernyitkan keningnya. “Bu, ini adalah pesanan untuk Anda.” Lucas melirik-lirik kotak makanan itu dan berkata
dengan iri : “Metroluxe adalah salah satu restoran paling berkelas di Kota Metro, rumornya itu hanya dibuka untuk orang yang
memiliki keanggotaan dan biaya keanggotaannya itu mencapai miliaran, orang berstatus setinggi apa yang bisa meminta
Metroluxe untuk mengantarkan makan malam di jam segini?” “Untukku?” Samara kembali mengernyitkan keningnya : “Siapa
yang mengirimkannya?” Lucas meraih secarik kartu yang ada dibawah kotak-kotak makanan itu, dan membacakannya : “Nona
Samara bergadang untuk bekerja semalaman, Anda sudah bekerja keras—- Salam, Asta.” Lucas yang membacakan tulisan di
kartu itu seketika terkejut, bahkan Jane juga tampak kebingungan. Keahlian Samara sebagai ahli forensik memang tidak
diragukan lagi, tapi dari segi penampilan dia benar-benar jelek, belum lagi bintik-bintik diseluruh wajahnya, dan fitur wajahnya
yang tidak menarik, itu bukanlah penampilan yang akan meninggalkan kesan kepada orang. Bagaimanapun mereka tidak
percaya kalau Asta akan cukup buta dan mengejar wanita sejelek Samara, tapi kotak makan malam dari Metroluxe yang ada
dihadapan mereka membuat mereka mau tidak mau harus percaya kalau diantara mereka berdua memang ada hubungan
khusus. Lucas menggaruk kepalanya dan bertanya : “Bu, ada hubungan apa...antara Anda dan Asta?” “Orang asing.” “Bu, kamu
sedang membohongi kami?” “Terserah mau percaya atau tidak.” Samara meraih kartu ucapan yang ada di tangan Lucas dan
membuangnya ke tempat sampah, lalu melirik kearah makanan yang memenuhi mejanya dan berkata dengan dingin : “Lucas,
bawa semua makanan ini dan bagikan kepada rekan-rekan forensik yang lembur malam ini, kalau masih bersisa, bagikan juga
kepada paman yang berjaga.” Setelah selesai berbicara, Samara mengeluarkan sebungkus biskuit dari tasnya dan
memakannya. Lucas menatapnya dengan tatapan tidak mengerti : “Bu, kamu tidak memakan makanan dari Metroluxe dan
memilih memakan biskuit?” Samara menatapnya dengan tajam : “Ada yang salah?” Lucas segera menggelengkan kepalanya :
“Tidak ada, saya akan segera membagikan makanan ini.” Samara mengunyah biskuitnya dan tidak melirik sedikitpun makanan-
makanan itu. Kenapa memangnya kalau itu makanan dari restoran mahal seperti Metroluxe? Samara tidak akan mengambil
sesuatu yang tidak pantas dia dapatkan, tapi itu adalah makanan yang dibuat dengan hasil jerih payah, kalau dia tidak
memakannya, dia bisa memberikan kepada orang lain untuk dimakan. Jane tidak menyentuh makan malam dari Metroluxe, dan
menatap Samara tanpa berkedip. Saat ini Jane merasa kalau atasan barunya ini cukup menarik, dia tidak hanya terampil, tegas
dan profesional, dalam menghadapi orang-orang terkemuka seperti kakeknya dan Asta pun dia tidak merendahkan maupun
menyombongkan dirinya dan senantiasa menjaga jarak, penampilan luarnya jelas-jelas tidak menarik tapi auranya yang tenang
dan dingin malah membuat Jane tidak bisa mengabaikannya. “Bu, apakah saya boleh meminta biskuitmu?” Samara
menatapnya dan tersenyum : “Tidak makan makanan yang dikirimkan Asta?” “Saya tidak kenal dengan Asta, tadi saya hanya
sedikit penasaran dengan hubungan kalian. Karena Anda mengatakan kalau Anda juga tidak mengenalnya, saya tentu harus
berada dijalur yang sama dengan Anda.” Jane telah melihat profesionalitas dan kepribadian Samara, jadi dia sudah bersedia
menerima Samara sebagai atasannya. Samara merasa kalau cucu perempuannya Oscar cukup menarik dan kemudian
membagikan sepotong biskuit kepadanya. “Ini.” Kedua gadis itu mengunyah biskuit padat yang terasa hambar, dan bertukar
pandang lalu tersenyum satu sama lain. Satu pandangan itu membuat Jane menyadari kalau fitur wajah Samara memang biasa
saja, tapi sepasang matanya itu sangat indah, apalagi saat dia tersenyum, pesona didalam matanya itu membuat orang sulit
untuk melupakannya. ...... Keesokan paginya. Di gedung perkantoran yang tinggi, Asta menghadap keluar jendela besar yang
memenuhi dinding, dan memperhatikan lalu lintas Kota Metro yang dipenuhi oleh mobil yang berlalu lalang. Kemeja hitam
membalut bahu lebar dan pinggangnya yang ramping dengan sempurna, fitur wajahnya yang indah dan setampan patung, dan
sekujur tubuhnya yang memancarkan aura yang menakjubkan. “Tuan, saya curiga kalau wanita ini sama sekali tidak tahu apa-
apa.” Wilson melaporkan dengan wajah muram : “Samara tidak tahu sekuat apa nama Keluarga Costan di Kota Metro, dan
sepertinya dia juga tidak tahu restoran sebaik apa Metroluxe itu, tadi malam saya melihatnya dengan mataku sendiri kalau
bawahannya sedang membagikan makanan yang kita kirimkan kepada petugas jaga!” Asta membuka suara dengan ringan :
“Dia mungkin tidak tahu tentang Keluarga Costan maupun Metroluxe.” Wilson menggertakkan giginya dan mengemukakan
tebakannya dengan berani : “Tuan, kalau Samara sedang berpura-pura bodoh, maka kemungkinan besar dia sedang
memainkan taktik jual mahal. Dia sengaja memancing Anda dan perlahan-lahan membuat Anda semakin penasaran
terhadapnya. Kalau dia selihai ini, bisa saja dia akan memperalat Nona Olivia kemudian harinya....” Mata tajam Asta berputar,
dan dia mengetuk meja kerjanya dengan berirama. “Wilson, kamu sudah bisa menulis novel dengan isi otakmu itu.” “Tuan....”
“Orang yang kita pekerjakan saja tidak bisa meretas informasi pribadinya, lantas kamu mengira dia hanyalah orang biasa?” Asta
yang duduk di kursinya menyeringai dengan sepasang mata tajamnya yang gelap : “Ahli Forensik Khusus? Itu hanyalah sedikit
cuplikan yang ditunjukkan wanita itu saja.” Setelah mendengar ucapan Asta, Wilson seketika tersadar. “Tuan, maafkan
kekeliruanku.” “Tidak apa.” Asta melipat tangannya dan bertumpu : “Tolong undur semua pertemuan bisnisku malam ini, saya
yang akan langsung menjemputnya pulang kerja.”