Antara Dendam dan Penyesalan by Jus Alpukat

Chatper 394



Bab 394
Cahaya redup di dalam ruangan menerpa wajah wanita itu. Sebelumnya, Selena sudah berkali–kali membayangkan seperti apa
wajah Lanny yang sebenarnya.
Karena wanita itu sudah melakukan hal–hal yang sangat mengerikan, seharusnya wajahnya berubah.
menjadi seperti setan dan monster.
Sebenarnya, Lanny mewarisi garis keturunan yang sempurna dari keluarga Irwin. Secara penampilan, dia lebih mirip dengan
Nyonya Irwin.
Hanya beberapa bagian dari wanita itu yang terlihat mirip Harvey. Tentu saja yang paling mirip adalah
matanya.
Baik bentuk mata maupun tatapannya, semuanya seperti dicetak dari cetakan yang sama dengan
Harvey.
Dengan fitur wajah yang terlihat anggun dan rambut panjang yang tergerai, penampilannya saat ini
memberikan kesan polos dan suci.
Jika tidak tahu tentang perbuatannya, Lanny akan terlihat seperti mahasiswa yang suci dan tulus.
Jadi, jawaban dari misteri tersebut sudah terungkap. Dugaannya tidak salah, pelakunya ternyata
memang Lanny!

Saat memikirkan keluarga Bennett, Arya, dan semua penderitaan yang telah dialaminya selama beberapa tahun terakhir, dia
merasa ingin sekali mendekat dan mencabik–cabik wanita itu dengan sadis.
Padahal dia tidak pernah menyakiti Lanny, lalu kenapa wanita itu tega melakukan semua ini kepadanya!
Terutama ketika ayahnya masih terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur. Seketika amarahnya memuncak, membuat dadanya
naik turun dengan cepat.
Suara lembut Sean yang terdengar, berhasil menenangkan kegelisahannya..
“Kamu sudah besar, ya.”
Mendengar hal itu, wajah Lanny sedikit memerah. Mulutnya terbuka, seolah–olah ingin menjelaskan sesuatu. Namun, pada
akhirnya dia hanya menahan dirinya dan mundur ke samping.
“Aku ingin tahu, untuk apa Tuan memanggilku datang ke sini?”
“Sebenarnya nggak ada yang penting. Aku kebetulan sedang berada di Kota Arama dan kudengar kamu juga ada di sini, jadi
aku ingin melihat keadaanmu. Apa kamu baik–baik saja?”
Lanny menggigit bibirnya dan berkata, “Terima kasih atas perhatianmu, Tuan, aku baik–baik saja. Aku harap Tuan nggak
menyalahkanku atas kepergianku.”
+15 BONUS
“Semua itu pilihanmu sendiri, untuk apa aku menyalahkanmu? Selain datang untuk melihatmu, ada beberapa masalah medis
yang ingin kukonsultasikan denganmu hari ini.”

Saat membicarakan masalah medis, Lanny langsung menjadi bersemangat dan buru–buru berkata, ” Silakan katakan saja,
Tuan.”
Selena memperhatikan tindak–tanduk Lanny dengan saksama. Jelas, sikap wanita itu terhadap Sean sangat berbeda. Apakah
pria itu juga merupakan orang yang sangat penting baginya?
Di atas atap.
Atap gedung itu sudah diselimuti oleh warna–warni bunga mawar yang sedang bermekaran dengan cantiknya.
Calvin melihat seorang wanita dengan tubuh yang anggun duduk di depan sebuah piano hitam. Lagu yang sama terdengar
dimainkan berulang kali.
Wanita itu mengenakan gaun terusan hitam yang indah dengan sulaman bunga mawar di bagian bawahnya.
Kulitnya seputih salju, ujung jarinya yang lembut menekan nada terakhir dari lagu pada tuts piano
Suara yang baru saja bergema perlahan menghilang, membuat dunia seketika menjadi sunyi senyap seolah–olah tidak ada
kehidupan.
Wanita itu tidak menoleh. Calvin pun mengambil inisiatif untuk berbicara kepadanya, “Nyonya, aku
datang kemari sesuai permintaanmu.”
“Apa permainanku tadi terdengar bagus?” wanita itu malah balik bertanya, tidak menjawab pertanyaan
baru saja dilontarkan oleh Calvin.

Sebelum datang kemari, Calvin sebenarnya ingin membicarakan banyak hal tentang Maisha dan Agatha.
Namun, satu pertanyaan dari wanita itu berhasil membuatnya langsung terdiam dan tidak bisa berkata-
kata.
“Apa?” Calvin terkejut.
“Aku membicarakan tentang lagu barusan.
Dia terus merasa khawatir di sepanjang perjalanan tadi. Jadi, bagaimana mungkin dia memperhatikan
apa yang dimainkan oleh wanita itu?
“Bisakah kamu memainkannya sekali lagi?” tanya Calvin dengan sungguh–sungguh.
Tawa lembut wanita itu terdengar di telinga Calvin. “Kamu masih saja seperti ini, sama sekali nggak tahu
cara menghibur wanita.”
+15 BONUS
Jika orang lain, mereka pasti akan langsung bilang ‘bagus‘. Tidak peduli apakah mereka benar–benar mendengarnya atau tidak.
Calvin menatap bagian belakang kepala wanita itu. Suaranya... bagaimana bisa begitu mirip dengan orang yang ada dalam
ingatannya?
Tidak mungkin, orang itu sudah meninggal bertahun–tahun yang lalu. Bahkan, Calvin sendiri yang mengurus jenazahnya pada
saat itu.
Dia menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran–pikiran yang berkecamuk di dalam benaknya.
Wanita itu kembali membuka mulutnya. “Ayo kemari, kita mainkan lagunya bersama–sama.”


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.