Antara Dendam dan Penyesalan by Jus Alpukat

Chapter Bab 255



Bab 255
Selena dan dokter Ciko telah menentukan waktu operasi dan sepakat kalau operasi akan dilakukan pada hari Jumat ini.
Hujan rintik–rintik turun dari langit. Selena membuka payungnya dan menelepon Olga.
Suara Olga terdengar lesu. Begitu telepon tersambung, dla langsung mengeluh, “Nyebelin banget, sih! Aku sudah begadang
selama dua malam, entah mungkin bosku yang baru ini memang gila. Semua sel- sel di tubuhnya berubah menjadi sel kerja.”
Selena menutup mulutnya menahan tawa. “Kayaknya baru beberapa hari kemarin kamu bilang bosmu ganteng sekali.”
“Ganteng saja nggak cukup! Toh dia juga bukan pacarku. Kalau tahu dari awal akan begini jadinya, harusnya aku pindah kerja
saja! Makan gaji buta di kantor yang lama juga nggak apa–apa, deh!”
Setelah Olga putus dengan Zacky, mantan pacarnya itu datang ke kantornya setiap hari dan memelas kepada Olga. Olga yang
kesal akhirnya memilih untuk mengundurkan diri.
Dia tidak ingin terus hidup dengan selalu berhati–hati agar tidak membuat orang lain kecewa. Jadi, Olgal menolak tawaran
Harvey dan pindah ke sebuah perusahaan real estat yang sangat hebat di lingkupnya.
Meskipun setelah itu Olga mengutuki bos barunya setiap hari dan mengatakan kalau bosnya adalah orang kejam yang rasanya
ingin menyiksa semua karyawannya hingga mati.
“Olga, hari Jumat besok kamu ada waktu, nggak?”
“Nggak ada, bosku yang jahat itu mengajakku pergi dinas bersamanya ke Kota B. Ada apa memangnya?”
Selena tahu bahwa Olga memiliki sifat yang kuat sejak lahir. Dia memang terus mengeluh tentang bosnya, tetapi sebenarnya dia
bercita–cita untuk sukses.
Sekarang adalah masa–masa kejayaan dalam pekerjaannya, tentu harus dia harus bekerja keras.

Selena menelan kembali kata–kata yang ingin dia ucapkan. “Nggak ada apa–apa, aku cuma ingin ketemu
deh.” kamu saja untuk makan bareng. Kalau gitu lain kali saja, d
“Oke, masih ada banyak waktu, kok! Selena, aku akan membawakanmu oleh–oleh khas dari Kota B.”
Olga tidak berkata apa–apa lagi dan langsung menutup telepon karena dia disuruh untuk mengubah proposalnya lagi.
Selena tertawa dan mengucapkan selamat tinggal.
Selena melihat dunia yang ada di depannya berkabut karena hujan. Dia mengulurkan tangannya dan membiarkan tetes–tetes
hujan jatuh membasahi telapak tangannya.
Air hujan yang dingin membuatnya menyadari bahwa hidupnya memang nyata.
Selena seperti seorang anak yang tak punya rumah, yang duduk di bawah pohon sambil memeluk kedua kakinya, memandangi
Jalanan yang ramal.
Padahal dunia ini begitu besar, tetapi dia tidak bisa menemukan orang yang bisa menandatangani surat itu untuknya.
Hujan menetes mengenal payungnya dan turun ke genangan air kecil di depannya.
Di hadapannya, ada sebuah layar besar yang memutar video tentang suasana tempat pertunangan Harvey dan Agatha secara
bersamaan.
Terlihatlah ladang sakura seluas ribuan hektar dengan bunga sakura yang bermekaran.
Harvey mengenakan setelan jas lengkap dan menyambut pengantin baru.

Sementara itu, Selena sedang berbaring di meja operasi, entah akan hidup atau mati.
Selena melihat–lihat daftar kontak di ponselnya dan matanya berhenti sejenak pada tulisan “Ibu“.
Raut wajah Maisha memenuhi kepalanya.
“Agatha pasti akan berumur panjang, memangnya tubuh Agatha sekuat kamu?”
“Sejak kecil Agatha sakit–sakitan, sudah susah–susah dia menikahi laki–laki yang dia sukai. Menyerahlah dengan perasaan
yang dari awal bukan milikmu ini supaya semuanya bisa merasa bahagia, oke?”
Masih ada bekas luka yang belum sembuh di telapak tangannya yang terbuka itu.
Tiba–tiba Selena merasa hidungnya sedikit ngilu. Ayahnya terbaring di rumah sakit, sementara ibunya sendiri juga tidak
mengakuinya sebagai anak. Bahkan laki–laki yang pernah berjanji padanya akan menjaganya seumur hidup juga akan menikahi
wanita lain.
Hanya tersisa dirinya seorang diri.
Selena mendongakkan kepalanya dan melihat deraian hujan yang turun dari langit. Dalam hati dia berpikir, kalau lebih baik dia
mati saja.
Maisha sudah meruntuhkan harapan bertahan hidup yang susah payah dibangunnya.
Menanam satu biji benih membutuhkan waktu selama puluhan tahun untuk tumbuh menjadi pohon besar, tetapi menghancurkan
pohon besar hanya membutuhkan waktu sekejap mata.

Satu kalimat dari pelaku kekerasan dapat dengan mudah menghancurkan semua usaha seseorang yang
berjuang keras untuk bangkit dari kehancuran.
Selena menyadari pemikiran pesimisnya dan menggeleng–gelengkan kepala.
Dia ingin hidup. Sebelum bisa membawa tersangkanya ke pengadilan, dia tidak boleh mati. Sama sekali
tidak boleh mati.
Selena mengusap air matanya asal–asalan.
Sepintas, sepertinya dia melihat seseorang turun dari mobil yang berhenti di pinggir jalan.
Sepasang sepatu kulit mewah yang dijahit tangan melangkah dan melintasi jalanan batu yang berlumpur, mendekati dirinya
langkah demi langkah.
Selena mengangkat kepalanya dengan raut wajah berharap, tetapi malah menatap sepasang mata yang terlihat mengasihani
dirinya.
“Kak Selena, apakah kamu tersesat?”
Selena terlihat kecewa dan berkata, “Oh, ternyata kamu.”


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.